Berbahagialah
Cerita ini sekali lagi kami dapat dari kiriman pesan tertulis seorang teman, bercerita tentang betapa berharganya sebuah kesehatan, melebihi yang lain. Kesehatan bukan sekedar dari obat, namun kesehatan seseorang juga sangat dipengaruhi oleh hati, pikiran atau perasaan dan juga ketaqwaan kita kepada Sang Pencipta
Mohon maaf jika beberapa penggalan kata dalam cerita
berikut ini sudah mengalami penambahan atau pengurangan tanpa mengurangi makna
isi keseluruhan, dan terima kasih sekali kami ucapkan kepada Penulis cerita ini
yang telah secara mendalam mengisahkan pengalaman pribadinya, semoga bisa bermanfaat
bagi siapa saja yang membaca tulisan ini.
Tulisan ini amat panjang, jangan lupa matikan kompor dan siapkan segelas kopi ......
Tulisan ini amat panjang, jangan lupa matikan kompor dan siapkan segelas kopi ......
Daerah perumahan Bayeman Permai Jalan Wates Km. 3 Yogyakarta siang itu cukup lengang. Maklum jam
kerja, mungkin para penghuninya sedang beraktivitas di luar. Di teras yang
menjadi ruang tunggu itu hanya ada aku, kawanku Mahmud, orang yang mengantarku dan
seorang bapak pengidap vertigo dari Kulonprogo.
Kami sedang antri periksa kesehatan. Dokter yang kami kunjungi ini termasuk dokter sepuh (berumur), berusia sekitar tujuh puluhan, spesialis penyakit dalam yang sudah sangat berpengalaman. Jam sembilan pagi aku dan Mahmud berangkat dari Krapyak, dengan kondisi perut yang masih tak karuan. Sesampainya di depan rumah Dokter Paulus Adrian itu, aku muntah walau memang tak banyak. Hanya muntah basa-basi karena perut mual disiksa belasan polisi tidur di perjalanan tadi.
Sambil duduk menunggu, kuatur napas untuk mengontrol sensasi
mules dan cemas yang muncul tiba-tiba. Rasa ingin buang air, sedikit mual,
cemas, dan semacamnya adalah hal yang biasa kualami saat asam lambung naik.
Persis seperti orang yang lagi stress atau grogi parah.
Pintu terbuka, bapak pengidap vertigo keluar sambil membawa
bingkisan obatnya. Aku pun masuk. “Silakan duduk!” sambut Pak Paulus. Aku duduk
di depan meja kerjanya, mengamati pria sepuh berkacamata ini yang sedang sibuk
menulis identitasku di kartu pasien.
“Apa yang dirasakan, Mas?”
Aku pun bercerita tentang apa yang kualami sejak 2013 hingga
saat ini. Mulai dari awal merasakan sakit maag, peristiwa-peristiwa kram perut,
ambruk berkali-kali, gejala dan vonis tipes, pengalaman opname dan endoskopi,
derita GERD, hingga tentang radang duodenum dan praktek tata pola makan Food
Combining yang kulakoni.
“Kalau kram perutnya sudah enggak pernah lagi, Pak,” ungkapku,
Tapi sensasi panas di dada ini masih kerasa, panik juga cemas, mules, mual.
Kalau telat makan, maag saya kambuh. Apalagi setelah beberapa bulan tata pola
makan saya amburadul lagi.
“Tapi buat puasa kuat ya?”
“Kuat, Pak.”
“Orang kalau kuat puasa, harusnya nggak bisa kena maag!”
Aku terbengong, menunggu penjelasan.
“Asam lambung itu, terang Pak Paulus”. Diaktifkan oleh
instruksi otak kita. Kalau otak kita bisa mengendalikan persepsi, maka asam
lambung itu akan nurut sendiri. Dan itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang
puasa.
“Maksudnya, Pak?”
“Orang puasa, kan malamnya wajib niat to?”
"Njih, Pak."
"Nah, niat itulah yang kemudian menjadi kontrol otak atas
asam lambung. Ketika situ sudah bertekad kuat besok mau puasa, besok nggak
makan sejak subuh sampai maghrib, itu membuat otak menginstruksikan kepada
fisik biar kuat, asam lambung pun terkendali. Ya kalau sensasi lapar memang
ada, namanya juga puasa. Tapi asam lambung tidak akan naik, apalagi sampai
parah. Itu syaratnya kalau situ memang malamnya sudah niat mantap. Kalau cuma di
mulut bilang mau puasa tapi hatinya nggak mantap, ya tetap nggak kuat. Makanya
niat itu jadi kewajiban, kan?"
"Iya, ya, Pak," aku manggut-manggut nyengir.
"Manusia itu, Mas, secara ilmiah memang punya tenaga
cadangan hingga enam puluh hari. Maksudnya, kalau orang sehat itu bisa tetap
bertahan hidup tanpa makan dalam keadaan sadar selama dua bulan. Misalnya puasa
dan buka-sahurnya cuma minum sedikit. Itu kuat. Asalkan tekadnya juga kuat."
Aku melongo lagi.
"Makanya, dahulu raja-raja Jawa itu sebelum jadi raja,
mereka tirakat dulu. Misalnya puasa empat puluh hari. Bukanya cuma minum air
kali. Itu jaman dulu ya, waktu kalinya masih bersih. Hahaha," Beliau tertawa
ringan, menambah rona wajahnya yang memang kelihatan masih segar meski keriput
penanda usia.
Kemudian ia mengambil sejilid buku di rak sebelah kanan meja
kerjanya. Ya, ruang praktek dokter dengan rak buku. Keren sekali. Aku lupa
judul dan penulisnya. Ia langsung membuka satu halaman dan menunjukiku beberapa
baris kalimat yang sudah distabilo hijau.
"Coba baca, Mas: mengatakan adalah mengundang, memikirkan
adalah mengundang, meyakini adalah mengundang. Jadi kalau situ memikirkan; ah, kalau telat makan nanti asam lambung saya naik, apalagi berulang-ulang
mengatakan dan meyakininya, ya situ berarti mengundang penyakit itu. Maka benar
kata orang-orang itu bahwa perkataan bisa jadi doa. Nabi Musa itu, kalau kerasa
sakit, langsung mensugesti diri; ah sembuh. Ya sembuh. Orang-orang debus itu
nggak merasa sakit saat diiris-iris kan karena sudah bisa mengendalikan
pikirannya. Einstein yang nemuin bom atom itu konon cuma lima persen
pendayagunaan otaknya. Jadi potensi otak itu luar biasa," papar Pak Paulus.
"Jadi kalau jadwal makan sembarangan berarti sebenarnya
nggak apa-apa ya, Pak?"
"Nah, itu lain lagi. Makan harus tetap teratur, ajeg,
konsisten. Itu agar menjaga aktivitas asam lambung juga. Misalnya situ makan
tiga kali sehari, maka jarak antara sarapan dan makan siang buatla sama dengan
jarak antara makan siang dan makan malam. Misalnya, sarapan jam enam pagi,
makan siang jam dua belas siang, makan malam jam enam petang. Kalau siang,
misalnya jam sebelas situ rasanya nggak sempat makan siang jam dua belas, ya
niatkan saja puasa sampai sore. Jangan mengundur makan siang ke jam dua misalnya,
ganti aja dengan minum air putih yang banyak. Dengan pola yang teratur, maka
organ di dalam tubuh pun kerjanya teratur. Nah, pola teratur itu sudah bisa
dilakukan oleh orang-orang yang puasa dengan waktu buka dan sahurnya."
"Ooo, gitu ya Pak," sahutku baru menyadari.
"Tapi ya itu tadi. Yang lebih penting adalah pikiran situ,
yakin nggak apa-apa, yakin sembuh. Allah sudah menciptakan tubu kita untuk
menyembuhkan diri sendiri, ada mekanismenya, ada enzim yang bekerja di dalam
tubuh untuk penyembuhan diri. Dan itu bisa diaktifkan secara optimal kalau
pikiran kita optimis. Kalau situ cemas, takut, kuatir, justru imunitas situ
turun dan rentan sakit juga."
Pak Paulus mengambil beberapa jilid buku lagi, tentang enzim kebahagiaan endorphin, tentang enzim peremajaan, dan beberapa tema psiko-medis lain tulisan dokter-dokter Jepang dan Mesir.
"Situ juga berkali-kali divonis tipes ya?"
"Iya, Pak."
"Itu salah kaprah."
"Maksudnya?"
"Sekali orang kena bakteri thypoid penyebab tipes, maka
antibodi terhadap bakteri itu bisa bertahan dua tahun. Sehingga selama dua
tahun itu mestinya orang tersebut nggak kena tipes lagi. Bagi orang yang
fisiknya kuat, bisa sampai lima tahun. Walaupun memang dalam tes widal hasilnya
positif, tapi itu bukan tipes. Jadi selama ini banyak yang salah kaprah,
setahun sampai tipes dua kali, apalagi sampai opnam. Itu biar rumah sakitnya
penuh saja. Kemungkinan hanya demam biasa."
"Haah?"
"Iya Mas. Kalaupun tipes, nggak perlu dirawat di rumah
sakit sebenarnya. Asalkan dia masih bisa minum, cukup istirahat di rumah dan
minum obat tipes. Sembuh sudah. Dulu, pernah di RS Sardjito, saya anjurkan agar
belasan pasien tipes yang nggak mampu, nggak punya asuransi, rawat jalan saja.
Yang penting tetep konsumsi obat dari saya, minum yang banyak, dan tiap hari
harus cek ke rumah sakit, biayanya gratis. Mereka nurut. Itu dalam waktu
maksimal empat hari sudah pada sembuh. Sedangkan pasien yang dirawat inap,
minimal baru bisa pulang setelah satu minggu, itupun masih lemas."
"Tapi, kan pasien harus bedrest, Pak?"
"Ya, kan bisa di rumah."
"Tapi kalau nggak pakai infus, kan lemes terus Pak?"
"Nah situ nggak yakin sih. Saya yakinkan pasien bahwa
mereka bisa sembuh. Asalkan mau nurut dan berusaha seperti yang saya sarankan
itu. Lagi-lagi saya bilang, kekuatan keyakinan itu luar biasa lho, Mas."
Dahiku berkernyit. Menunggu lanjutan cerita.
"Dulu, lanjut Pak Paulus," Ada seorang wanita kena
kanker payudara. Sebelah kanannya diangkat, dioperasi di Sardjito. Nggak lama, ternyata payudara kirinya kena juga. Karena
nggak segera lapor dan dapat penanganan, kankernya merembet ke paru-paru dan
jantung. Medis di Sardjito angkat tangan.
Dia divonis punya harapan hidup maksimal hanya empat
bulan.
"Lalu, Pak?" tanyaku antusias.
"Lalu dia kesini ketemu saya. Bukan minta obat atau apa.
Dia cuma nanya; "Pak Paulus, saya sudah divonis maksimal
empat bulan."
Kira-kira bisa nggak kalau diundur jadi enam bulan?
Saya heran saat itu, saya tanya kenapa.
Dia bilang bahwa enam bulan lagi anak bungsunya mau nikah,
jadi pengen menangi momen itu.
"Waah.. Lalu, Pak?"
"Ya saya jelaskan apa adanya. Bahwa vonis medis itu nggak
seratus persen, walaupun prosentasenya sampai sembilan puluh sembilan persen, tetap masih ada satu persen berupa kepasrahan kepada Tuhan
yang bisa mengalahkan vonis medis sekalipun.
Maka saya bilang; sudah Bu, situ nggak usah mikir bakal mati
empat bulan lagi.
Justru situ harus siap mental, bahwa hari ini atau besok
situ siap mati.
Kapanpun mati, siap!
Begitu, situ pasrah kepada Tuhan, siap menghadap Tuhan
kapanpun. Tapi harus tetap berusaha bertahan hidup.
Aku tambah melongo. Tak menyangka ada nasehat macam itu.
Kukira ia akan memotivasi si ibu agar semangat untuk sembuh,
malah disuruh siap mati kapanpun.
O iya, mules mual dan berbagai sensasi ketidaknyamanansudah
tak kurasakan lagi.
Dia mau nurut. Untuk menyiapkan mental siap mati kapanpun
itu dia butuh waktu satu bulan.
Dia bilang sudah mantap, pasrah kepada Tuhan bahwa dia siap.
Dia nggak lagi mengkhawatirkan penyakit itu, sudah sangat
enjoy.
Nah, saat itu saya cuma kasih satu macam obat. Itupun hanya
obat anti mual biar dia tetap bisa makan dan punya energi untuk melawan kankernya.
Setelah hampir empat bulan, dia check-up lagi ke Sardjito
dan di sana dokter yang meriksa geleng-geleng. Kankernya sudah berangsur-angsur
hilang!
"Orangnya masih hidup, Pak?"
"Masih. Dan itu kejadian empat belas tahun lalu."
"Wah, wah, wah.."
"Kejadian itu juga yang menjadikan saya yakin ketika
operasi jantung dulu."
"Lhoh, njenengan pernah Pak?"
Iya.
Dulu saya operasi bedah jantung di Jakarta. Pembuluhnya
sudah rusak. Saya ditawari pasang ring.
Saya nggak mau. Akhirnya diambillah pembuluh dari kaki untuk
dipasang di jantung.
Saat itu saya yakin betul sembuh cepat. Maka dalam waktu
empat hari pasca operasi, saya sudah balik ke Jogja, bahkan dari bandara ke
sini saya nyetir sendiri.
Padahal umumnya minimal dua minggu baru bisa pulang.
Orang yang masuk operasi yang sama bareng saya baru bisa
pulang setelah dua bulan.
Pak Paulus mengisahkan pengalamannya ini dengan mata
berbinar. Semangatnya meluap-luap hingga menular ke pasiennya ini. Jujur saja,
penjelasan yang ia paparkan meningkatkan harapan sembuhku dengan begitu
drastis.
Persis ketika dua tahun lalu pada saat ngobrol dengan Bu
Anung tentang pola makan dan kesehatan. Semangat menjadi kembali segar!
"Tapi ya nggak cuma pasrah terus nggak mau usaha.
Saya juga punya kenalan dokter," lanjutnya,
"Dulu tugas di Bethesda, aslinya Jakarta, lalu pindah mukim
di Tennessee, Amerika.
Di sana dia kena kanker stadium empat. Setelah divonis mati
dua bulan lagi, dia akhirnya pasrah dan pasang mental siap mati kapanpun.
Hingga suatu hari dia jalan-jalan ke perpustakaan, dia
baca-baca buku tentang Afrika.
Lalu muncul rasa penasaran, kira-kira gimana kasus kanker di
Afrika.
Dia cari-cari referensi tentang itu, nggak ketemu. Akhirnya
dia hubungi kawannya, seorang dokter di Afrika Tengah.
Kawannya itu nggak bisa jawab.
Lalu dihubungkan langsung ke kementerian kesehatan sana.
Dari kementerian, dia dapat jawaban mengherankan, bahwa di sana nggak ada kasus
kanker.
Nah dia pun kaget, tambah penasaran.
Pak Paulus jeda sejenak. Aku masih menatapnya penuh
penasaran juga, "Lanjut, Pak," benakku.
"Beberapa hari kemudian dia berangkat ke Afrika Tengah.
Di sana dia meneliti kebiasaan hidup orang-orang pribumi.
Apa yang dia temukan?
Orang-orang di sana makannya sangat sehat.
Yaitu sayur-sayuran mentah, dilalap, nggak dimasak kayak
kita.
Sepiring porsi makan itu tiga perempatnya sayuran, sisanya
yang seperempat untuk menu karbohidrat. Selain itu, sayur yang dimakan ditanam
dengan media yang organik. Pupuknya organik pake kotoran hewan dan sisa-sisa
tumbuhan.
Jadi ya betul-betul sehat.
Nggak kayak kita, sudah pupuknya pakai yang berbahaya, eh
pakai dimasak pula. Serba salah kita.
Bahkan beras merah dan hitam yang sehat-sehat itu, kita
nggak mau makan.
Malah kita jadikan pakan burung, ya jadinya burung itu yang
sehat, kitanya sakit-sakitan.
Keterangan ini mengingatkanku pada obrolan dengan Bu Anung
tentang sayur mayur, menu makanan serasi, hingga beras sehat. Pas sekali.
"Nah dia yang awalnya hanya ingin tahu, " akhirnya
ikut-ikutan.
Dia tinggal di sana selama tiga mingguan dan menalani pola
makan seperti orang-orang Afrika itu.¡±
"Hasilnya, Pak?"
"Setelah tiga minggu, dia kembali ke Tennessee.
Dia mulai menanam sayur mayur di lahan sempit dengan cara
alami.
Lalu beberapa bulan kemudian dia check-up medis lagi untuk
periksa kankernya,
"Sembuh, Pak?"
"Ya! Pemeriksaan menunjukkan kankernya hilang.
Kondisi fisiknya berangsur-angsur membaik. Ini buki bahwa
keyakinan yang kuat, kepasrahan kepada Tuhan, itu energi yang luar biasa.
Apalagi ditambah dengan usaha yang logis dan sesuai dengan
fitrah tubuh.
Makanya situ nggak usah cemas, nggak usah takut.."
Takjub, tentu saja.
Pada momen ini Pak Paulus menghujaniku dengan
pengalaman-pengalamannya di dunia kedokteran, tentang kisah-kisah para pasien
yang punya optimisme dan pasien yang pesimis.
Aku jadi teringat kisah serupa yang menimpa alumni Madrasah
Huffadh Al-Munawwir, pesantren tempatku belajar saat ini.
Singkatnya, santri ini mengidap tumor ganas yang bisa
berpindah-pindah benjolannya.
Ia divonis dokter hanya mampu bertahan hidup dua bulan.
Terkejut atas vonis ini, ia misuh-misuh di depan dokter saat itu.
Namun pada akhirnya ia mampu menerima kenyataan itu.
Ia pun bertekad menyongsong maut dengan percaya diri dan
ibadah. Ia sowan ke Romo Kiai, menyampaikan maksudnya itu.
Kemudian oleh Romo Kiai, santri ini diijazahi (diberi
rekomendasi amalan)
Riyadhoh Qur'an, yakni amalan membaca Al-Quran tanpa henti
selama empat puluh hari penuh, kecuali untuk memenuhi hajat dan kewajiban
primer.
Riyadhoh pun dimulai.
Ia lalu hari-hari dengan membaca Al-Quran tanpa henti.
Persis di pojokan aula Madrasah Huffadh yang sekarang.
Karena merasa begitu dingin, ia jadikan karpet sebagai selimut.
Hari ke tiga puluh, ia sering muntah-muntah, keringatnya pun
sudah begitu bau.
Bacin, mirip bangkai tikus, kenang narasumber yang
menceritakan kisah ini padaku. Hari ke tiga puluh lima, tubuhnya sudah nampak
lebih segar, dan ajaibnya; benjolan tumornya sudah hilang.
Selepas rampung riyadhoh empat puluh hari itu, dia kembali
periksa ke rumah sakit di mana ia divonis mati.
Pihak rumah sakit pun heran.
Penyakit pemuda itu sudah hilang, bersih, dan menunjukkan
kondisi vital yang sangat sehat!
Aku pribadi sangat percaya bahwa gelombang yang diciptakan
oleh ritual ibadah bisa mewujudkan energi positif bagi fisik.
Khususnya energi penyembuhan bagi mereka yang sakit.
Memang tidak mudah untuk sampai ke frekuensi itu, namun
harus sering dilatih. Hal ini diiyakan oleh Pak Paulus.
Untuk melatih pikiran biar bisa tenang itu cukup dengan
pernapasan.
Situ tarik napas lewat hidung dalam-dalam selama lima detik,
kemudian tahan selama tiga detik. Lalu hembuskan lewat mulut sampai tuntas.
Lakukan tujuh kali setiap sebelum Shubuh dan sebelum Maghrib.
Itu sangat efektif. Kalau orang pencak, ditahannya bisa
sampai tuuh detik.
Tapi kalau untuk kesehatan ya cukup tiga detik saja.
Nah, anjuran yang ini sudah kupraktekkan sejak lama.
Meskipun dengan tata laksana yang sedikit berbeda.
Terutama untuk mengatasi insomnia. Memang ampuh. Yakni
metode empat-tujuh-delapan.
Ketika merasa susah tidur alias insomnia, itu pengaruh
pikiran yang masih terganggu berbagai hal.
Maka pikiran perlu ditenangkan, yakni dengan pernapasan.
Tak perlu obat, bius, atau sejenisnya, murah meriah.
Pertama, tarik napas lewat hidung sampai detik ke empat,
lalu tahan sampai detik ke tujuh, lalu hembuskan lewat mulut pada detik ke
delapan. Ulangi sebanyak empat sampai lima kali.
Memang iya mata kita tidak langsung terpejam ngantuk, tapi
pikiran menadi rileks dan beberapa menit kemudian tanpa terasa kita sudah
terlelap.
Awalnya aku juga agak ragu, tapi begitu kucoba, ternyata
memang ampuh. Bahkan bagi yang mengalami insomnia sebab rindu akut sekalipun.
"Gelombang yang dikeluarkan oleh otak itu punya energi
sendiri, dan itu bergantung dari seberapa yakin tekad kita dan seberapa kuat
konsentrasi kita," terangnya,
"Jadi kalau situ sholat dua menit saja dengan khusyuk, itu
sinyalnya lebih bagus ketimbang situ sholat sejam tapi pikiran situ
kemana-mana, hehehe."
Duh, terang saja aku tersindir di kalimat ini.
"Termasuk dalam hal ini adalah keampuhan sholat malam.
Sholat tahajud. Itu ketika kamu baru bangun di akhir malam,
gelombang otak itu pada frekuensi Alpha. Jauh lebih kuat daripada gelombang
Beta yang teradi pada waktu Isya atau Shubuh.
Jadi ya logis saja kalau doa di saat tahajud itu begitu
cepat 'naik' dan terkabul. Apa yang diminta, itulah yang diundang.
Ketika tekad situ begitu kuat, ditambah lagi gelombang otak
yang lagi kuat-kuatnya, maka sangat besar potensi terwujud doa-doa situ.
Tak kusangka Pak Paulus bakal menyinggung perihal sholat
segala.
Aku pun ternganga. Ia menunjukkan sampul buku tentang 'enzim panjang umur'.
"Tubuh kita ini, Mas, diberi kemampuan oleh Allah unuk
meregenerasi sel-sel yang rusak dengan bantuan enzim tertentu, populer disebut
dengan enzim panjang umur.
Secara berkala sel-sel baru terbentuk, dan yang lama
dibuang.
Ketika pikiran kita positif untuk sembuh, maka yang dibuang
pun sel-sel yang terkena penyakit.
Menurut penelitian, enzim ini bisa bekerja dengan baik bagi
mereka yang sering merasakan lapar dalam tiga sampai empat hari sekali."
Pak Paulus menatapku, seakan mengharapkan agar aku
menyimpulkan sendiri.
"Puasa?"
"Ya!"
"Senin-Kamis?"
"Tepat sekali! Ketika puasa itu regenerasi sel berlangsung
dengan optimal.
Makanya orang puasa sebulan itu juga harusnya bisa jadi
detoksifikasi yang ampuh terhadap berbagai penyakit.
Lagi-lagi, aku manggut-manggut.
Tak asing dengan teori ini.
"Pokoknya situ harus merangsang tubuh agar bisa
menyembuhkan diri sendiri. "
Jangan ketergantungan dengan obat. Suplemen yang nggak
perlu-perlu amat, nggak usahlah.
Minum yang banyak, sehari dua liter, bisa lebih kalau situ
banyak berkeringat, ya tergantung kebutuhan.
Tertawalah yang lepas, bergembira, nonton film lucu tiap
hari juga bisa merangsang produksi endorphin, hormon kebahagiaan. Itu akan
sangat mempercepat kesembuhan.
Penyakit apapun itu!
Situ punya radang usus kalau cemas dan khawatir terus ya
susah sembuhnya.
Termasuk asam lambung yang sering kerasa panas di dada
itu.
Terus kusimak baik-baik anjurannya sambil mengelus perut
yang tak lagi terasa begah. Aneh.
Tentu saja seperti yang saya sarankan, situ harus teratur
makan, biar asam lambung bisa teratur juga.
Bangun tidur minum air hangat dua gelas sebelum diasupi yang
lain.
Ini saya kasih vitamin saja buat situ, sehari minum satu
saja. Tapi ingat, yang paling utama adalah kemantapan hati, yakin, bahwa situ
nggak apa-apa. Sembuh .. !!
Begitulah. Perkiraanku yang tadinya bakal disanguni berbagai
macam jenis obat pun keliru.
Hanya dua puluh rangkai kaplet vitamin biasa, Obivit,
suplemen makanan yang tak ada kaitannya dengan asam lambung apalagi GERD.
Hampir satu jam kami ngobrol di ruang praktek itu, tentu
saja ini pengalaman yang tak biasa. Seperti konsultasi dokter pribadi saja rasanya.
Padahal saat keluar, kulihat masih ada dua pasien lagi yang
kelihatannya sudah begitu jengah menunggu.
“Yang penting pikiran situ dikendalikan, tenang dan
berbahagia saja ya,!” ucap Pak Paulus sambil menyalamiku ketika hendak pamit.
Dan jujur saja, aku pulang dalam keadaan bugar, sama sekali
tak merasa mual, mules, dan saudara
-saudaranya.
Terima kasih Pak Paulus.
Kadipiro Yogya